Vanilla

Vanilla : 7. Pertemuan Singkat

“Makasih Kak” ucap si penjual sambil mengangsurkan minuman kearahku.

Aku tersenyum, memberikannya selembar uang 10 ribu rupiah sambil mengucapkan terima kasih. Kemudian pergi meninggalkan tenda minuman tersebut.

Sambil meminum jus ditangan, aku menyusuri jalanan yang ramai dihiasi kerlap-kerlip lampu. Banyak sekali pedagang kaki lima, lalu-lalang kendaraan bermotor, juga pemuda dan pemudi yang menikmati waktu santai di beberapa warung tenda. Wajar, karena sudah memasuki hari libur sekolah. Begitupun juga aku.

Aku baru saja dari rumah tanteku. Sudah terhitung 5 hari selama masa liburan aku menginap di sana, dan hari ini aku memutuskan untuk pulang. Sebenarnya sepupuku menawarkan untuk mengantarku, tapi aku menolak.

Beberapa hari ini, otak serta pikiranku terasa sesak dan penuh. Sering kali aku merasa ingin menangis, tapi bingung penyebabnya karena apa? Oleh sebab itu, saat pulang dari rumah tanteku yang jaraknya dekat, aku memutuskan untuk berjalan kaki saja, sekaligus meredakan gumpalan pikiran yang menggangguku beberapa hari ini. Yah, walaupun aku akan dikira orang minggat karena backpack yang lumayan besar dibalik punggungku.

Saat aku sudah memasuki kawasan perumahan, suasana berubah sedikit tenang. Hanya ada beberapa kendaraan yang lewat. Aku berbelok, ingin menuju taman bermain yang kebetulan dekat dengan posisiku. Taman bermain yang sering kukunjungi saat masih kecil.

Dari jarak yang lumayan dekat, aku mengernyitkan dahi saat ada seseorang yang duduk disalah satu bangku yang tersedia di sana.

Aku menghela napas, “ Yaaah …”

Sedikit kecewa karena aku harus berbagi tempat dengan seseorang yang tidak kukenal. Pasti rasanya canggung. Tapi masa bodohlah, anggap saja patung hiasan taman.

Saat aku berjarak hanya beberapa langkah dari orang tersebut, samar-samar aku mendengar ringisan kemudian kepala yang menoleh menatapku tak suka.

Aku membelalakkan mata, begitupun juga orang di depanku.

“Ya Allah, Kak Kim!”

“Vanilla!” aku menunjuk Kak Kim, begitu pula sebaliknya.

“Habis nyolong di mana lo, Kak?”

“Mau minggat ke mana?”

2 kalimat beruntun yang kita ucapkan, sedikit membuatku speechless. Kak Kim menghela napas, ia mengkodeku untuk mendekat. Aku pun menurutinya. Saat aku sudah duduk di sampingnya, spontan aku meringis. Ya gimana gak ikut meringis? Wajah mejiku hibiniu milik Kak Kim membuatku ngeri.

“Ini kenapa?” belum juga aku memegang wajahnya, Kak Kim sudah meringis. Membuatku mengurungkan niat untuk menyentuh memar tersebut. “Lo habis dikeroyok warga mana, Kak?”

Kak Kim memutar bola mata. “Gue gak maling apa-apa. Gue juga gak dikeroyok warga. Lagian udah biasa anak cowok kayak gini, gak usah kaget.”

Aku menganga tak percaya. “Gak usah kaget jidat lo! Itu pasti sakit banget.” Berani-beraninya dia ngomong enteng disaat wajahnya warna-warni begitu.

Mataku yang menatap kesana kemari, tak sengaja tertuju kearah tangan yang masih memegang gelas. Aku baru ingat jika jus yang airnya sudah habis itu masih kupegang karena di dalam gelas masih terdapat es batu yang niatnya akan aku kremus.

Akhirnya aku membungkus es batu tersebut dengan kain perca yang ada di dalam tasku.

“Nih! kompres dulu biar agak mendingan.”

Kak Kim pun menerimanya, tapi karena aku yang gemas sendiri melihat Kak Kim mengompresnya dengan asal-asalan, membuatku langsung merebutnya kembali.

Kak Kim meringis saat aku dengan sengaja menekan memar tersebut. “Kalau seumpama gue gak ke sini, Kak Kim bakal biarin lukanya gitu aja?”

Aku dan Kak Kim saling bertatapan.”Mungkin,” jawabnya sambil mengedikkan bahu.

“Tapi tadi ada Lily kok, sekarang dia lagi ke Apotek. Tenang, gue gak ngapa-ngapain karna nungguin dia,” sambungnya cepat saat melihat gelagatku yang akan mengomelinya habis-habisan.

“Eh, Van. Itu Alan kan?” sambungnya bertanya.

Aku menatap mata Kak Kim, lalu mengikuti arah matanya yang tertuju dibalik badanku. Dari jarak yang lumayan jauh memang terdapat seorang cowok berdiri menyamping. Walaupun samar, aku mengenali postur tubuh cowok itu. Seperti tahu jika aku sedang menatapnya, orang itu balik menatapku. Saat itulah aku terkejut karena memang benar cowok itu Kak Alan. Beberapa detik kita saling menatap, lalu ia pergi dari sana.

“Loh, kok pergi?” tanyaku heran. Lalu menoleh kearah Kak Kim yang sedang tertawa.

“Kelihatan banget cemburunya,” celetuk Kak Kim membuatku bertanya-tanya.

“Cemburu karena apa?”

“Lo lagi PDKT ya sama Alan? Dia kayaknya gak suka lihat lo sama gue.”

Gak tahu kenapa? Pipiku mulai terasa panas. Aku memalingkan wajah. “Apasih? Ngaco banget!”

Selesai mengompres wajah Kak Kim yang terlihat sedikit membaik, aku menilik jam tanganku. “Kak, aku tinggal gak apa-apa? Udah jam segini, takut dicariin orang rumah.”

“Oh, pergi aja. Makasih loh, udah ngompres muka gue, jadi agak mendingan.”

Aku mengangguk. “Kalau Lily masih lama, telfon aja,” nasehatku, sebelum meninggalkan Kak Kim.

Beberapa menit setelah aku meninggalkan taman bermain, entah perasaanku saja atau gimana? Seperti terdengar suara langkah kaki lain, membuatku merinding.

Yaelah, gue masih jomblo. Belum jadi sultan, batinku.

Untuk memastikan, aku mencoba berhenti, tetapi hal itu malah membuatku makin ketakutan saat langkah kaki tersebut juga ikut berhenti. Sambil menggigit bibir, aku berusaha meredakan tubuhku yang sudah gemetaran.

Karena penasaran, setelah hitungan ketiga, aku langsung menoleh kebelakang.

“Anjir!” umpatku dengan posisi tubuh sudah terduduk di jalan saking shocknya. “Jantung guee ….”

Bagikan:

Picture of Sinshine

Sinshine

Picture of Sinshine

Sinshine

hi nuria

Hi, I'm Nuria

Website ini memulai perjalanan pada Juli 2021. Berfokus pada rumah, kreativitas, dan gaya hidup.

FYI
Blog ini berisi spanduk iklan berbayar dan beberapa posting berisi tautan afiliasi. Komisi kecil yang kami terima dari sponsor membantu menjaga situs ini tetap berjalan. Setiap posting yang disponsori dicatat dengan tag ‘disponsori’ di bawah judul posting. Namun, kami hanya menautkan ke produk yang sesuai dengan selera pribadi dan estetika kami.