“Bisa gak?”
Aku mendongak. Kak Alan tersenyum, lalu mengambil alih tanganku yang sedari tadi sibuk membuka pengunci helm. Dalam sekali percobaan, pengait tersebut pun terbuka. Ia melepaskan helm dari kepalaku lalu ia taruh di spion motor.
“Yuk!” ajaknya masuk.
Selain physical touch, kelebihan dia yang lain yaitu act of service. Apa gak makin tambah brutal jantung anak orang?
“Ayang guee …” dari arah samping, Kak Kim berlari menghampiriku. Sepertinya tukang cari perhatian banyak orang udah jadi nama tengahnya, deh.
Kak Kim melirik sekilas kearah Kak Alan yang masih berjalan disampingku, lalu merangkul pundakku. “Lo udah sarapan belum?”
Kak Alan menyentak tangan Kak Kim di pundakku lalu menariknya agar berjalan mendahuluiku.
“Apa? Kenapa? Lo kepanasan?” tanya Kak Kim sambil mengipasi wajah Kak Alan.
Sambil tersenyum, Kak Alan merangkul pundak Kak Kim. Ia seperti mengatakan sesuatu karena setelahnya, Kak Kim mencoba menoleh ke belakang. Sayangnya, lehernya ditahan oleh lengan Kak Alan.
Kak Alan menoleh kearahku. Sambil tersenyum ia melambaikan tangan. Aku tertawa, balas melambaikan tangan.
Kak Kim memberontak. “Lan! Minggir, lo! Van, lo kok gak bilang apa-apa sih?” setelahnya, mereka menghilang ditikungan koridor.
Emang Kak Alan tuh the best. Bunda dulu ngidam apa sih, sampai punya anak yang bisa diandalkan gitu? Jadi mau minta tips and tricknya.
***********
“Gue ke kantin duluan ya? Ntar lo nyusul kan?” aku mengangguk.
Lily sudah mengetahui hubunganku dengan Kak Alan. Ia adalah orang pertama yang kutelfon di jam 1 malam karena tidak bisa tidur. Yah, walaupun ia meninggalkanku di jam 1.10.
Aku menopang dagu. Menunggu kedatangan Kak Alan. Bunda membawakanku dan Kak Alan bekal. Katanya untuk memperingati kehadiranku dirumahnya setelah sekian minggu. Itulah yang mebuatku dan Kak Alan memutuskan untuk makan bersama.
Dari arah lapangan, Kak Alan melambaikan tangan untuk menarik atensiku. Aku tersenyum, lalu mengambil bekal di kolong meja dan keluar kelas menghampirinya.
Setelah aku sampai di sebelahnya, mataku refleks memindai penampilannya.
“Kenapa? Keringetan ya? Baru selesai pelajaran olahraga.” Ia menaikkan kaos olahraganya untuk mengelap mukanya. Untung, ia memakai kaos oblong putih di dalamnya. Padahal, aku udah melotot
was-was.
“Mau makan dimana? Kantin?”
“Boleh, tapi temenin ke gudang dulu ya? Mau ngembaliin bola” aku mengangguk.
Aku menunggu Kak Alan di depan gudang. Sembari menunggu, mataku melihat kesekeliling. Aku mengernyit saat bayangan yang kukenal mengarah ke gudang alat musik. Aku menoleh ke belakang ragu. Tapi karena keadaan mereka sepertinya tidak baik, aku memutuskan untuk mengikuti mereka. meninggalkan Kak Alan tanpa mengatakan apapun terlebih dulu.
Aku memilih bersembunyi di balik tikungan. Tidak terlalu jauh tapi tidak terlalu dekat dengan posisi mereka.
“Kenapa sih tarik-tarik? Gue udah gak ada urusan sama lo, Kak.”
“Lo masih suka kan sama gue? Gak usah bo’ong!”
“Pede banget sih, Kak. Lo gak seganteng itu.”
Cowok itu tertawa. “Gue gak ganteng? Lo dulu ngejar-ngejar gue!”
“Lepasin gak? Gue bisa teriak kalau lo kurang ajar!”
“Apa? Gak bisa bantah kan.”
“Mau lo apa sekarang?” tanya si cewek dengan wajah takut-takut.
“Mau gue, lo jadi milik gue lagi. Gue butuh lo yang dulu. Yang gak pernah membantah perkataan gue, mau ngelakuin semua yang gue mau, lebih memprioritaskan gue daripada kakak sendiri, dan bisa buat penggangu kayak Farah menjauh. Lo harus jadi milik gue, Ly.”
Aku menutup mulutku tak percaya. Air mataku sudah menggenang. Aku tahu jika Lily pernah dekat dengan cowok itu tapi Lily tak pernah bercerita apapun. Saat kutanya, ia menjawab baik-baik saja. Saat ia berjauhan dengan kakaknya, ia hanya mengatakan itu perbedaan pendapat yang sudah biasa antar saudara. Aku yang dengan bodohnya mengiyakan tanpa mengatakan lebih lanjut dan memaksanya bercerita lebih detail karena merasa anak tunggal.
Lalu, Kak Farah?
“Lo jahat banget Kak. Gue diem dan memaafkan karena gue sadar jika itu kesalahan gue sendiri. tapi sekarang, apa lo belum cukup puas ganggu gue? Lo yang buat gue gak percaya sama orang, Kak. APA LO SADAR?” teriak Lily.
“Gue? Semua karena diri lo sendiri, Ly. Lo, Farah, dan semua cewek sama aja. Sama-sama bego’ urusan cinta. Lo yang terpancing sampai mau gue manfaatin. Sedangkan Farah yang dengan bego’nya ninggalin Alan -Si Perfect – yang sekarang deket sama Vanilla yang ternyata SASIMO. Hahaha … kalian semua sama aja.”
Mendengar itu, tubuhku rasanya mendidih. Berani-beraninya DIA!
Tanganku tiba-tiba digenggam. Aku seketika menoleh dengan wajah masih emosi. Ternyata Kak Alan.
Melihatnya, air mataku langsung keluar tak terbendung.
“Sssttt… tenang-tenang.” Tutur Kak Alan sambil menepuk puncak kepalaku. Tak lama terdengar suara keras.
“Ternyata lo masih kurang gue hajar ya!? Beraninya sama perempuan. Jadi bencong perapatan aja sana!”
“Lo, gak pantes jadi laki. Dasar Ferdi banci sial*n!”
“Aku ke Kim dulu, ya? Bisa mati anak orang.” Ucap Kak Alan saat mereka berdua sudah saling tonjok-menonjok.
Aku mengangguk. Aku memilih menghampiri Lily dan menariknya agar menjauh dari 2 orang yang malah memukul satu orang yang sudah terkapar dengan membabi buta.
Aku memeluk tubuh Lily yang sudah gemetaran. “S-sorry, sorry karena lo p-punya sahabat kayak gue.”
Lily menggeleng. “Enggak, g-gue yang salah. Gue gak cerita masalah gue. G-gue gak bisa meyakinkan diri gue sendiri untuk p-percaya sama lo.”
“Iya-iya. U-udah dong jangan nangis. Lo nangis, g-gue juga ikutan nangis nih.”
“Kan, y-yang nangis duluan elo!” ketus Lily dengan sesenggukan.