Vanilla

Vanilla : 9. Ganteng-Ganteng Setengah 12

Aku baru saja sampai di depan sekolah. Memakai kupluk sweater yang kuserut, aku berjalan cepat sambil sesekali menoleh ke belakang.

Libur sekolah semester ganjil telah usai, terhitung sudah seminggu lebih. Sangat disayangkan, karena hari anak sekolah mager se-Indonesia telah berakhir.

Karena sibuk menoleh ke belakang, aku tak sadar jika di depanku ada orang. Alhasil, kepalaku menabrak cukup keras badan orang tersebut.

“Aduh, gila kali! Jalan lihat-lihat dong. Mata lo ditaruh mana?” amukku sambil mengusap-usap kepala yang tertunduk.

“Heh, cabe ijo! Mata lo yang ditaruh mana? Di ubun-ubun?” jawabnya, lalu kepalaku ia dongakkan “Muka lo sekarang kayak uler keket tahu gak?” hinanya sambil tertawa.

Aku menyentak tangannya yang memegang kepalaku.“Muka lo tuh kayak kiri panuwa!”

Setelah itu aku pergi meninggalkannya tapi tak membuatnya menyerah begitu saja. Sambil merangkul pundakku, ia bertanya, “Apa? Kiri apa? Panuan? Muka gue kayak porselen gini dikatain panuan. Buta kali!”

Aku mendengus, “Biarkan orang budek memahaminya secara mandiri,” gumamku lirih.

Entah sampai mana ia akan tetap mengikutiku? Bahkan kita telah melewati kelasnya.

Aku geram sekaligus bingung dengan tingkahnya. “Ngapain sih Kak Kim ngikutin gue? Arah teritorial lo udah kelewatan.”

Ia cekikikan. “Sssttt… diem! Di belakang ada mata-mata,” bisiknya tepat di telingaku.

Aku mengernyit. Belum juga aku menoleh, Kak Kim sudah memegangi kepalaku.

Saat posisi kami hampir sampai kelasku, barulah Kak Kim memisahkan diri sambil memamerkan alisnya yang ia naik turunkan.

Kasian banget, ganteng-ganteng setengah 12.

“Van!” panggil seseorang dari arah belakang. Badanku seketika diam membeku dengan mata yang terpejam. Yang satu udah pergi, ganti yang lain.

Mungkin karena aku yang tidak ada reaksi, dia menghampiriku.

“Kalau nyerut, jangan kenceng-kenceng. Nanti ada bekasnya.” tanpa ada reaksi dariku, ia melonggarkan tali kupluk sweaterku lalu mengikatnya kembali.

“Gue tadi kerumah lo tapi kata tante, lo udah berangkat.” Aku membuka mata, menatapnya datar. Untung saja suasana sekolah belum ramai. Bisa-bisa dihujat lagi aku. Habis sama sana, ganti sama sini. Padahal bukan aku yang cari-cari. Mereka yang suka gangguin hidup tentramku.

Kak Alan memegang puncak kepalaku. “Gak usah terlalu dipikirin. Gue gak mau kalau gara-gara gue, lo-nya jadi gak nyaman. Sekarang, lo yang jadi prioritas gue. Kalau lo mulai gak nyaman, gue bakal menjauh. Kalau lo nerima keberadaan gue, sebisa mungkin gue selalu ada kalau lo butuh.”

Kak Alan tersenyum tipis melihatku yang terus diam. “Yaudah gih, masuk sana! Udah ditungguin Lily, tuh!”

Aku menoleh. Benar saja, di balik pintu kelas Lily melongokkan kepalanya. Aku kembali menatap Kak Alan. Kak Alan mengangguk. Aku pun meninggalkannya dengan pikiran yang semakin ruwet. Pingin hidup jadi batu aja.

*********

Bel istirahat berbunyi. Lily mengajakku ke kantin. Karena posisi ingin es, aku pun meng-iyakan ajakannya.

“Daritadi diem mulu, kayak nanggung beban negara aja,” celetuk Lily.

“BEBAN DUNIA!” balasku ketus.

“Hei, uler keket!” tiba-tiba Kak Kim dan Kak Bagas menhampiri kami di kantin. Kak Kim duduk di sebelahku sedangkan Kak Bagas menghampiri Lily.

“Dek, ikut Kakak bentar, yuk! Makananmu titipin ke mereka aja dulu. Gak lama kok.”

Lily menatapku. Aku pun mengangguk. Kemudian ia menatap Kak Kim. “Jagain loh, Kak! Awas macem-macem!” ancamnya sambil menunjukku dan makanannya. Setelahnya mereka pun pergi dari kantin.

“Gimana kelanjutannya?” tanya Kak Kim tiba-tiba.

Aku mengerutkan alis. “Maksud lo apa?” tanyaku balik.

Jujur, selama aku mengenal Kak Kim. Dia satu-satunya orang extrovert dengan jalan pikiran yang sulit sekali kutebak. Perkatannya selalu ambigu.

Kak Kim menaik turunkan alisnya. “Waktu di taman bermain sama yang tadi pagi. Lo sama Alan ada sesuatu kan?”

“Waktu itu lo ngintilin gue ya, Kak?” tuduhku.

“Idih, kalau gue ngikutin kalian berdua, ngapain juga gue tanya?“ entah darimana Kak Kim bisa peka dengan keadaanku dan Kak Alan. Bahkan saat di taman waktu itu, Kak Kim sudah menyadarinya.

“Jadi gimana?”

Aku memainkan sendok yang kupengang, bimbang harus menceritakannya atau tidak.

“Kak Alan nyatain perasaannya,” ucapku akhirnya.

“Kalau dia suka sama lo?” tanya Kak Kim memastikan. Aku mengangguk “Emang firasat gue tuh gak pernah salah. Terus, jadian?”

“Emang lo pikir segampang itu? Habis nyatain perasaan, pasti langsung jadian?”

Apa itu curhat berujung melow? Yang ada emosi jiwa.

“Lah, bukannya jawabannya cuma dua. Kalau gak diterima, ya ditolak. Lo nolak dia?” aku mengangguk lalu menggeleng. Kak Kim diam, memahami jawabanku “Lo gantungin dia kayak jemuran?”

Aku berdecak tak terima. “Gue gak bermaksud kayak gitu. Gue bingung. Apa bisa dia suka gue secepet itu? Apa cowok emang bisa cepet berpaling dalam waktu singkat? Gue takut kalau cuma dijadiin pelarian.”

“Kayaknya lo gak tahu deh. Udah 3 bulan lebih Alan putus sama Farah.”

Aku melotot. “Loh kok bisa? Bukannya bulan lalu?”

Kak Kim tersenyum lalu merangkul pundakku. “Gue gak ada hak. Lo tanya orangnya langsung aja.”

Panjang umur. Kak Alan tiba-tiba datang dengan menyentak tangan Kak Kim yang berada di pundakku. ”Tangan lo gak usah kurang ajar!”

“Kurang ajar gimana? Vanilla aja diem gak protes.”

“Cemburu bilang!” tambah Kak Kim mengompori.

Aku menghela napas. Bisa gak sih, gak usah narik perhatian orang banyak?

Bagikan:

Picture of Sinshine

Sinshine

Picture of Sinshine

Sinshine

hi nuria

Hi, I'm Nuria

Website ini memulai perjalanan pada Juli 2021. Berfokus pada rumah, kreativitas, dan gaya hidup.

FYI
Blog ini berisi spanduk iklan berbayar dan beberapa posting berisi tautan afiliasi. Komisi kecil yang kami terima dari sponsor membantu menjaga situs ini tetap berjalan. Setiap posting yang disponsori dicatat dengan tag ‘disponsori’ di bawah judul posting. Namun, kami hanya menautkan ke produk yang sesuai dengan selera pribadi dan estetika kami.