Aku buru-buru menuruni tangga, lalu berlari ke arah dapur untuk mengambil bekal dan sarapan seadanya. Mama yang melihatku tergopoh-gopoh, mengerutkan kening. “Kenapa sih?” tanyanya.
“Telat ma, telat” ucapku, menyambar bekal lalu menoleh kekanan dan kekiri mencari sesuatu.
“Telat? Masih jam berapa ini?” Mama mengambil ponsel dan menyalakannya.
Maklum jika mama heran, karena saat ini jam masih menunjukkan pukul 6 pagi. Sedangkan biasanya aku baru berangkat sekolah pukul setengah 7, itupun lebih.
Mama yang tahu kebingunganku, langsung mengambilkan roti tawar yang sudah diolesi selai sebelumnya. Aku duduk, takut dikatain mama kerabatnya sapi sama kebo.
Tiba-tiba nada dering berbunyi dari dalam saku rokku. Aku menggeram dengan mulut menggembung, tahu siapa yang menelfon.
“Lama banget sih lo?” ucapan pertama yang terdengar setelah aku menggeser tombol hijau diponselku.
Dalam hati, aku mengumpat banyak kata dari manca negara “Gue masih sarapan, lo mau tanggung jawab kalau gue mati keselek, ha?”
“Cepetan!” satu kata perintah, dan sambungan telpon pun terputus. Aku memandang ponsel dan menyumpah serapahinya, seolah benda mati itu pembuat badmoodku.
“Kamu mau berangkat bareng Alan?”
“Iya, kalau gitu Vanilla berangkat dulu ya, Ma? Keburu makin cerewet monyet howler depan rumah” aku menjejalkan semua roti yang masih tersisa ke dalam mulut, baru menyalami tangan mama.
Aku berlari kearah rumah Kak Alan yang gerbangnya sudah terbuka dan menemukan Kak Alan yang masih sibuk memakai kaos kaki. Aku termenung dengan nafas ngos-ngosan, baru sadar dengan kebodohan sendiri.
“Ngapain lari? Duduk dulu sini” dengan tanpa dosa, Kak Alan menepuk tempat disampingnya.
Aku duduk, mengatur napas. “Gara-gara anjing gila depan rumah nih, pagi-pagi udah rewel ”
Kak Alan melirikku tajam. Tahu maksudku, tapi tak mempermasalahkannya lebih lanjut. “Helm lo mana?”
“Di rumah. Kenapa? Lo mau nyuruh gue ngambil?” dengan nada nge-gas, aku siap mengajaknya bertengkar.
“Gak usah, pakai punya gue aja” Kak Alan pun mengangsurkan helm bogo padaku, sedangkan ia memakai helm full face.
Aku membolak balik helm yang kupegang. “Punya siapa nih? Kak Farah ya?”
“Bukaan, ayo cepetan berangkat, gak usah banyak omong!” ketusnya, mengangkat 2 kardus berisi
perlengkapan untuk lomba class meeting menuju motor yang sedang ia panaskan.
Aku diam, tahu jika pertanyaanku tadi memang salah. Sensitif banget,ih! Kayak kucing birahi.
Aku menghampiri Kak Alan sambil meliriknya takut-takut. Kak Alan menoleh, menatapku sekilas. Ia melepas jaketnya lalu melilitkannya kepinggangku. “Ayo naik! Kalau gak bisa, pegang pundak gue aja” sarannya yang kuturuti.
Setelah nyaman dengan posisi dudukku, barulah Kak Alan memberikan satu kardus untuk kubawa sedangkan satunya lagi ia taruh di atas tangki motor.
“Sorry” gumamnya, aku hanya berdehem.
Akhirnya kita berdua sampai di sekolah. Aku dan Kak Alan berjalan beriringan membuat banyak pasang mata menatap kami, tapi banyak juga yang tak peduli seolah itu hal yang biasa. Memang, saat pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini, aku sering terlihat bersama Kak Alan. Awalnya memang banyak yang membicarakanku, tapi lama-kelamaan juga biasa saja. Tentunya itu terjadi sebelum Kak Alan dan Kak Farah berpacaran.
“Vanilla!” teriak sebuah suara yang membuatku dan Kak Alan menoleh. Dia berlari riang kearahku. “Hai, Kak!” sapanya, yang dibalas anggukan oleh Kak Alan. Dia adalah Lily, salah satu teman dekatku.
“Ngapain manggil gue?” tanyaku.
“Ayo, ganti! Udah ada Kak Kim di sana.”jawabnya sambil menunjuk kearah Lapangan.
Aku melirik Kak Alan tak enak.
Kak Alan menghela napas, peka dengan tatapanku. “Udah sana pergi aja, gue bisa bawa sendiri kok” suruhnya dengan ekspresi datar.
“Beneran?” tanyaku ragu. Kak Alan mengangguk.
Aku menoleh menatap Lily. “Bentar ya Ly, gue bantuin Kak Alan dulu bawa ini ke Ruang Osis”
“Oh gitu, yaudah santai aja, gak usah buru-buru. Lagian belum bel masuk juga kok” tutur Lily merasa bersalah.
Llily pun memisahkan diri setelah berbisik padaku, meminta maaf karena tak memahami situasi. Aku memutar bola mata sambil tersenyum mengkodenya, membuatnya balas memukul lenganku pelan.
“Kan gue bilang pergi aja”
Aku berdecak, “Mulut lo emang ngomong gitu, tapi coba ngaca deh Kak. Tatapan lo tuh seolah ngancem gue.”
“Bukannya tatapan gue emang kayak gini?” sanggah Kak Alan membela diri. Aku diam, tak membantah karena itu memang faktanya dan aku membencinya.
Kak Alan membuka pintu Ruang Osis yang tidak terkunci, membuat banyak pasang mata langsung tertuju kearah kami. Terutama Kak Farah.
2 cowok menghampiri kami. “Sini Van, gue bawain aja” pinta salah satunya.
“Yaudah Kak, aku pergi dulu ya?” pamitku.
“Loh Van, mau kemana?” tanya beberapa anggota osis dari dalam ruangan.
Aku menoleh lalu tersenyum “Mau latihan voly dulu, Kak. Nanti kalau sempet, aku kesini bantuin deh” jawabku yang disambut hangat oleh mereka.
Walaupun aku bukan anggota osis, tapi hampir semuanya akrab denganku. Seringnya teman-teman Kak Alan berkunjung ke rumahnya, membuatku jadi sering mengobrol dan bercanda dengan mereka. oleh sebab itu, aku cukup dikenal oleh anak osis, terutama kakak kelas XII.